Saturday, January 17, 2009

Bunda, Aku Mencintai Telapak Kakimu



Pagi itu Bunda mulai mules. Keluar flek. Abee segera nelpon Tante Ewet dan Eyang Uti untuk segera datang ke Bogor. Tante Ewet itu perawat jadi pasti tahu cara nanganin Bunda yang mau lahiran. Kalau Eyang Uti khan kader Posyandu, jadi tau juga sama Bunda yang mau lahiran. Apalagi, sekalian sama bisa ngejagain Naya.

Setelah Tante Ewet datang, Bunda segera dicek kondisinya. Ternyata baru bukaan 1. Jadi, harus segera ke rumah sakit. Abee, Bunda dan Eyang Uti pun segera berangkat ke Rumah Bersalin Melania, lokasinya deket kok dari rumah. Kesananya pake angkot.

Sampai disana, Abee langsung nyari ruang rawat yang kosong. Dapetnya di Ruang Melati 2, Kelas 1. Rada mahal sih, tapi biar deh, yang penting Bunda dan baby-nya selamat.

Bunda diperiksa sama suster. Katanya sih belum apa-apa. Jadi, kalau mau pulang silahkan aja. Mau disini juga ngga apa-apa. Bunda milih nginep aja di Melania.

Malam itu, Bunda dijagain sama Abee dan Eyang Uti. Baby belum lahir. Bunda wajahnya tetep tenang dan makin cantik.

Besoknya Abee menemani Bunda jalan pagi di dekat Melania. Katanya, supaya cepat kontraksi. Bunda jalan keliling aja. Makin lama makin cepet. Abee cuman ngeliatin; Bunda yang jalan cepet sambil meganging perut gendutnya. Orang-orang yang lalu lalang disitu ngeliatin aja.

Hari itu, Bunda ngga diperiksa. Pokoknya siap-siap aja.

Abee sebenernya hari ini harus ngisi acara pelatihan untuk guru-guru SD IT Al Ashr di Citeureup. Antara mau berangkat atau nggak. Takutnya gak sempet nemenin Bunda pas lahiran. Tapi, Allah pasti memilihkan yang terbaik. Mudah-mudahan saja pelatihan berjalan lancar sekaligus bisa nemenin lahiran.

Abee berangkat ke Citeureup dianter mobilnya Rangga, adik kelas di SMAN 1 Bogor. Sempet nyasar berkali-kali, karena belum pernah kesana. Akhirnya, setelah sampai di lokasi, sebuah sekolah dasar yang berada di tengah komplek perumahan, Abee bertemu dengan para guru yang dikoordinatori oleh Pak Damsir.

Sepanjang pelatihan, perasaan Abee ngga menentu, antara menyampaikan materi pelatihan tentang kreativitas belajar, bersamaan dengan pikiran yang melayang-layang ke rumah sakit. Setiap jeda sebentar, Abee pasti telpon ke Bunda.
“Belum lahiran.” Itu jawabannya. Abee rada tenang.

Jam 15.30 acara selesai, disambung besok pagi. Abee segera bergegas pulang.

Kebetulan banget Rangga bawa mobil, jadinya sampai ke Bogor cepet banget. Abee langsung menuju Melania, sambil harap-harap cemas. Abee sampai di Melania jam 16.45.

Bener aja, pas di depan kamar, ternyata Eyang Uti, lagi mencet-mencet handphone, niatnya mau menghubungi Abee. Ada dua masalah, kenapa Eyang Uti tidak bisa menghubungi Abee; yang pertama, di Melania itu sinyalnya jelek banget. Susah banget menghubungi dan dihubungi. Makanya, kapan-kapan kalau milih rumah sakit, cari yang sinyalnya bagus. Hehehehe.

Yang kedua, Eyang Uti termasuk jadul (maaf ya Uti), jarang banget pake handphone. Jadilah suara kerasnya waktu manggil kedengeran persis ketika Abee berada tepat di belakangnya. Eyang Uti ngasih tau Abee sambil nangis, katanya dari setengah jam lalu, Bunda sampai ngejengking, karena menahan sakitnya kontraksi.

Abee mendatangi Bunda di kamar bersalin. Wajah Bunda pucat. Rambutnya udah acak-acakan. Inilah alasan Abee cari dokter atau bidan, supaya masih bisa jaga aurat dalam kondisi yang kritis sekalipun. Abee nanya ke bidan Lily, yang ngurusin Bunda.

“Bu.. kira-kira berapa lama lagi?”

“Paling setengah jam lagi…” jawab bidan Lily santai.

Abee segera mencium kening dan pipi Bunda. Membisikan asma Allah supaya Bunda kuat. Bunda yang hebat, walaupun mukanya dibasahi air mata, kelihatan banget kalau berjuang keras. Abee menggenggam tangan kiri dan kanan Bunda, eraaaaaaaaaaaaaaaaaat banget. Bingung juga, harus bagaimana. Makanya Abee hanya bisa berdzikir saja memohon pertolongan Allah.

Bidan Lily kemudian mulai siap-siap. Dia memanggil perawat. Mereka berdua segera menyiapkan peralatan untuk lahiran. Bidan Lily mengenakan sarung. Alasa ditempatkan tepat di bawah badan Bunda. Bunda yang sudah pake sarung, langsung siap dalam posisi mengejan. Tangannya menggenggam lebih erat.

Bidan Lily memandu Bunda untuk tarik dan keluarin nafas dan mengejan.

“Tarik nafas yang panjang…. Keluarkan pelan-pelan. Kalau udah mules bilang.”
Ngga beberapa lama, Bunda teriak…

“Mules nih Bu Bidan…!”

Sumpah! Saat itu juga perut Abee mules banget. Abee juga jadi ikutan narik dan ngeluarin nafas panjang, sambil sesekali mengejan, padahal ngga ngefek ke Bunda.

“Ngejan Bu… ayo.. nah pinter… jangan di leher teriaknya. Ngejan terus….” Itu panduan dari Bidan Lily, Abee yang ngeliat udah mau black out. Tapi ditahan.

Bunda istirahat kembali. Ngambil nafas lagi. Cooling down.

Tidak beberapa lama, Bunda mulai ngejan lagi. Kali ini lumayan panjang. Bidan Lily terus menyemangati Bunda. Abee terus membisikan dzikir. Tangan Bunda kini berada tepat di bawah paha atas, supaya mengejannya bertenaga.

Bunda istirahat lagi. Abee masih pucet.

Setelah beberapa kali mules dan mengejan. Bunda akhirnya mengejan panjaaaaaaaaaaaaaaaaaang banget. Abee langsung takbir dan mengucap hamdallah.
Sebentuk kepala berwarna hitam keluar, langsung diambil oleh Bidan Lily. Kulitnya putih banget, tapi belum bersuara. Lehernya terlilit tali pusar. Suster langsung melepaskannya, dan terdengar…

“Eaaaaaaaaaaa… Eaaaaaaaaaaa.. Eaaaaaaaaaaaaaa….”

Suara tangis dari bayi laki-laki yang sehat wal afiat, hari Senin, pas Hari Ibu, tanggal 22 Desemberi 2008, tepat pukul 17.09 wib, beratnya 3.55 kg dengan panjang 51 cm. Mukanya masih bengep, karena baru keluar dari ruang nyamannya di perut Bunda selama lebih dari 9 bulan.

Subhanallah wabihamdihi, wa la illaha illallahu.. Allahu akbar. Ya Rob Yang Maha Kuasa.

Abee langsung mencium Bunda yang di wajah lelahnya tersungging tersenyum. Senyum itu menjadi senyum paling cantik yang Abee lihat hari ini.

Bunda membisikan sesuatu ke telinga Abee.

“Jangan nambah lagi ya…” pelan banget, tapi jelas.

Abee ngga jawab, hanya menatap Bunda, tersenyum dan mencium keningnya sekali lagi, sambil memejamkan mata.

“Terima kasih, Bunda… Aku mencintai telapak kakimu, karena (bahkan) disana pun ada surga”